Minggu, Mei 24, 2009

Rikuh

“Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…” - Soe Hok Gie, Zaman Peralihan.
Indonesia bisa semiskin ini hanya karena kepentingan orang-orang tertentu.
Mereka tertawa, tawa palsu.
Mereka berjanji, janji yang juga palsu.
Mereka mengisi perutnya dengan duit kepunyaan orang-orang malang itu.
Mereka dengan bangga menikmati harta yang seharusnya tidak mereka dapatkan.
Untuk apa ia berjuang bila akhirnya masih seperti ini?“

"Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”. - Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran.
Apa gunanya teriakan itu bila akhirnya orang-orang lebih memalingkan muka pada kekuasaan dan kemunafikan?
Perjuangannya tiada arti jika kita masih terkungkung dalam selimut manusia-manusia biadab itu.
Seharusnya Indonesia tidak seperti ini.
Merdeka secara tertulis namun belum merdeka secara pikiran dan kesejahteraan.
Indonesia tidak layak semiskin ini.
Sudah lama diperbudak, namun orang-orang itu senang saudara sebangsanya diperbudak, menjual tanah airnya.

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis …nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”. - Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran.
Pada akhirnya ia pun mengalami apa yang ditulisnya.
Singkat, namun berarti bagi orang banyak.
Semoga bukan retorika klise belaka.

Intelektual muda, pemberani, dan idealis. Namanya Soe Hok Gie.
Terimakasih Gie!
Semoga 17 Desember 1942 – 16 Desember 1969 bukan suatu yang sia-sia.
Indonesia masih bisa sedikit tersenyum…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar