Beberapa hari ini saya rasa orang orang (I mean rakyat Indonesia) sedang sibuk-sibuknya. Sibuk yang tidak biasanya. Perhatian sebahagian besar orang tersedot kepada beberapa topik hangat yang akan coba saya lebur dalam goresan saya ini. Dimulai dari kematian legenda pop dunia, Michael Jackson, sampai kepada pesta demokrasi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin selama 5 tahun ke depan. Yang pertama tentu saja bukan hanya rakyat Indonesia yang memberikan perhatiannya, namun saya rasa seluruh dunia tahu kalau dia sudah tiada (berlebihan, tapi kalau selama 2 minggu ini anda sedikit saja menyempatkan diri menonton tv, mudah-mudahan anda tahu). Dan di akhir cerita mengenai kematiannya ini, ia dibuatkan sebuah acara penghormatan terakhir dan pemakaman yang luar biasa. Terbesar sampai saat ini, mengalahkan acara pemakaman Elvis Presley dan Lady Diana. Acara pemakamannya saja menjadi hiburan menarik bagi orang-orang yang tidak ada kerjaan seperti saya. Berbagai stasiun televisi di Indonesia menyiarkan secara live. Gila memang pada malam itu, everybody`s talk about Jacko. Padahal bagi rakyat Indonesia, esoknya merupakan hari yang menentukan nasib bangsa ini. Masing-masing rakyat yang memiliki hak suara ada baiknya menjalankan haknya tersebut. syukur-syukur bangun pagi karena batas memilih hanya sampai jam 1 siang.
Saya termasuk orang yang antusias menghadapi pilpres kali ini. Sebagai orang yang pertama kali mengikuti pemilu (umur saya sekarang 19, 5 tahun kemaren belum bisa), rasa berkobar-kobar itu memaksa saya untuk terus mengikuti perkembangan pemilu dari jauh-jauh hari sebelumnya. Sebuah stasiun televisi menyebut dirinya The Election Channel menjadi referensi saya untuk pemilu kali ini. Disamping sekarang sedang masa liburan sehingga saya lowong, saya memang sangat tertarik akhir-akhir ini terhadap pemilu. Akhirnya saya menjatuhkan pilihan kepada calon presiden incumbent tersebut yang dalam masa kampanye ini akrab dengan slogan LANJUTKAN!. Saya telah mengamati ketiga calon beberapa bulan terakhir, apa yang saya rasakan selama 5 tahun belakangan dan hati saya pun memaksa untuk memilih beliau. Sambil harap-harap cemas, saya pulang ke kosan kemudian tenggelam pada permainan seorang pengangguran, Footbal Manager. Sembari bermain, televisi saya tetap bersuara dan menyiarkan tentang pemilu. Hasilnya, dalam quick count beliau unggul jauh dari 2 calon lain. Walaupun keputusan belum final, namun saya sebagai pendukungnya bisa sedikit bernafas lega. Sampai beberapa jam kemudian saya sudah melakukan berbagai aktivitas lahiriah dan batiniah, saya tetap mengikuti berita mengenai pasca-pemilu. Beragam memang, seperti kebiasaan orang-orang di negeri ini yang selalu meneriakkan lapang dada dan sportivitas, namun tindakan tidak sejalan dengan omongan. Sekali lagi saya tekankan, sampai saya menulis ini semua, hasil penghitungan manual KPU memang belum fix, tapi sekarang kita bicara peluang. Dengan jarak lebih dari 30 persen selang sehari setelah pencontrengan, berbagai media tampak sudah mentahbiskan beliau sebagai presiden terpilih dan hanya satu putaran sesuai dengan yang ia kampanyekan.
Karena saya males bikin tulisan berikutnya bila presiden benar-benar terpilih nanti, saya beri ucapan selamat sekarang juga kepada siapapun pemenangnya nanti. Semoga saya tidak salah pilih bila beliau si incumbent nanti yang terpilih. Pemilu kali ini memang jauh dari kesempurnaan, namun segala niat baik dan jahat akan diperhitungkan oleh si empunya akhirat. Tidak usahlah mengintervensi tak penting itu terhadap calon tertentu. Cukup, sudah lewat masa-masa itu. Sekarang saatnya menunggu dan berlapang dada bila tiba waktunya. Semua ini masih proses dalam mencapai Indonesia yang satu dan sejahtera. Seperti yang dirindukan seorang budayawan, Sudjiwo Tedjo, dalam dalangnya di The Election Channel, bedakan konteks berpartai dengan berkehidupan sehari-hari. Atmosfernya beda. Cobalah legowo dan beri penghargaan kepada siapapun pemenangnya. Semoga dalang yang ia sajikan tidak ditunggangi oleh berbagai kepentingan brengsek itu, namun benar-benar karya seorang yang mencintai negaranya.
Walaupun saya menjung tinggi kejujuran, entah kenapa saya suka potongan kata dari Sudjiwo Tedjo berikut:
Mari berbohong pada anak anak bahwa pemimpin baik baik saja. Jangan biarkan mereka menangis karena mereka akan berangkat sekolah.
Betapa Indonesia membutuhkan pemimpin yang mencintai rakyatnya sekarang ini. Cukuplah sudah krisis multidimensi ini. tulisan saya yang sudah tidak terarah ini saja sudah tidak sanggup lagi bercerita mengenai krisis, kapan-kapan saja kita omongin. Untuk kali ini, sekali lagi selamat buat rakyat Indonesia yang telah bersuara sekali dalam 5 tahun. Semoga suara kita tidak sia-sia.
Kamis, Juli 09, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar